Advertisement
Jogja Menuju Pusat Fashion Dunia: Membaca Makna di Balik 20 Tahun Jogja Fashion Week (JogFW)

Advertisement
Dua puluh tahun bukan waktu yang singkat. Sejak pertama kali digelar pada 2006, Jogja Fashion Week (JogFW) telah menjelma menjadi lebih dari sekadar ajang peragaan busana.
Ia adalah ruang tafsir budaya, arena inovasi industri kreatif, dan panggung kolaborasi antar generasi. Kini, memasuki tahun ke-20 pada 2025, JogFW bukan hanya merayakan usia, tetapi merumuskan cita-cita baru: menjadikan Jogja sebagai pusat fashion dunia yang berakar pada budaya, namun menjangkau semesta.
Dalam khasanah Jawa, busana bukan sekadar pelindung raga, tetapi simbol martabat, tata nilai, dan spiritualitas. Ada ungkapan tua yang menyiratkan makna ini: "busana ngugemi tata krama, ngasta kawicaksananing urip" pakaian melambangkan perilaku, menggambarkan kebijaksanaan dalam hidup. Maka, fashion dalam konteks Jogja tidak berhenti di estetika semata, tetapi menjadi media ekspresi kebudayaan yang hidup dan berkembang.
Tema “Threads of Tomorrow” yang diusung tahun ini bukanlah sekadar jargon puitis, melainkan seruan untuk menenun masa depan industri fashion berbasis nilai. Nilai keberlanjutan (sustainability), inklusivitas, dan inovasi menjadi benang-benang utama yang dirajut oleh lebih dari 160 desainer nasional, muda, hingga pelajar. Tak hanya karya tekstil, namun juga ekosistem kreatif mulai dari pameran, business matching, hingga talkshow edukatif ikut memperkuat positioning JogFW sebagai poros fashion berbasis budaya.
Advertisement
Langkah strategis ini sejalan dengan narasi besar yang telah disusun oleh para penggiat mode di Jogja: mewujudkan Jogjakarta sebagai pusat fashion dunia berbasis craft fashion.
BACA JUGA: Ekstrak Daun Pegagan Jadi Suplemen Pendamping Pengobatan TB
Artinya, Jogja menawarkan sesuatu yang tak dimiliki pusat mode lain seperti Paris atau Milan yakni produk yang mengakar pada nilai lokal, spiritualitas, serta kearifan perajin. Sebagaimana dikemukakan dalam visi Jogja Pusat Fashion Dunia, kita tidak ingin menjadi tiruan Paris. Dunia telah berubah. Konsumen global kini mencari keaslian (authenticity), nilai keberlanjutan, dan cerita di balik produk. Di sinilah Jogja unggul: batik tulis, lurik, pewarna alami, motif khas daerah, dan narasi budaya yang menyertainya. Kombinasi antara tradisi dan teknologi inilah yang membuat Jogja layak tampil dalam peta mode dunia.
Namun, potensi saja tidak cukup. Diperlukan ekosistem yang mendukung: pendidikan mode berbasis budaya, penguatan industri tekstil kreatif, pembentukan pusat riset tren (trend forecasting), serta pengembangan inkubasi desainer muda. Di sinilah peran JogFW sangat vital: ia bukan hanya panggung, tapi juga laboratorium sosial industri fashion yang kolaboratif.
Satu lagi filosofi Jawa yang layak direnungkan: "sandhang ora mung kanggo awak, nanging ugo kanggo ati lan pikiran" busana bukan hanya menutupi tubuh, tapi juga menyelimuti hati dan pikiran. Ini menegaskan bahwa mode Jogja harus tetap berpijak pada etika, tata krama, dan kehalusan rasa.
Di tengah gempuran fast fashion yang kerap abai terhadap lingkungan dan nilai kemanusiaan, Jogja bisa tampil sebagai alternatif moral: slow fashion yang sarat makna.
Dari sisi ekonomi, JogFW tidak hanya menghadirkan panggung prestisius, tetapi juga menjadi katalis pertumbuhan ekonomi daerah. Lebih dari 100 brand fashion lokal dan 50 lebih dari luar DIY ambil bagian dalam pameran. Dengan difasilitasinya pertemuan antara pelaku usaha dengan pembeli nasional dan internasional, potensi transaksi bernilai miliaran rupiah pun terbuka lebar.
Ini menjadi bukti bahwa JogGFW bukan hanya ajang kreativitas, tetapi juga penggerak roda ekonomi kerakyatan yang nyata. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa para pelaku industri fashion hari ini menghadapi tantangan berat di tengah gejolak ekonomi global.
Ketidakstabilan nilai tukar, fluktuasi bahan baku, hingga perubahan pola konsumsi masyarakat menjadi tekanan tersendiri. Di sinilah dibutuhkan keberanian untuk berinovasi, berpikir lintas batas, dan membangun jejaring pasar baru secara digital maupun fisik.
Dengan hadirnya puluhan desainer tamu seperti Ivan Gunawan, Dian Pelangi, dan Danjyo Hiyoji, serta ratusan peserta pameran dari berbagai daerah, JogFW 2025 telah menjelma sebagai titik temu: antara masa lalu dan masa depan, antara lokal dan global, antara estetika dan etika. Jogja bukan lagi pinggiran dalam peta mode Indonesia, ia adalah pusat, poros, bahkan mercusuar.
Langkah ke depan tidaklah ringan. Namun sebagaimana dikatakan para leluhur: "yen arep nganti tekan pucuk, kudu wani miwiti saka oyod" jika ingin mencapai puncak, kita harus berani berangkat dari akar.
Dan akar Jogja adalah budaya. Jogja Fashion Week ke-20 bukanlah garis akhir, melainkan simpul awal untuk menjadikan Jogja sebagai pusat fashion dunia dengan busana sebagai bahasa, budaya sebagai fondasi, dan masa depan sebagai tujuan. (Advetorial)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Agenda Wisata di Jogja Pekan Ini, 26-31 Juli 2025, Bantul Creative Expo, Jogja International Kite Festival hingga Tour de Merapi 2025
- Sendratari Ramayana Prambanan Padhang Bulan Hadirkan Nuansa Magis Bulan Purnama dan Budaya Jawa nan Sakral
- Nikmati Kuliner Kaki Lima, Wapres Gibran Borong Seratus Porsi Wedang Ronde dan Bakso di Alun-alun Selatan Jogja
- Insiden Rinjani, Kemenpar Tegaskan Pentingnya SOP Pendakian
- Enaknya Makan Apa Siang Ini di Jogja, Cek Rekomendasinya
Advertisement

Daftar Hiburan Festival Kamardikan Sepanjang Agustus di DIY
Advertisement

Makna Simbolisme Bendera One Piece yang Kini Viral Dikibarkan Warga
Advertisement
Advertisement
Advertisement