Advertisement
Resiliensi Budaya Keraton Jogja Diangkat dalam Jejak Peradaban 2025
Seminar jejak peradaban: resiliensi budaya di era disrupsi yang diselenggarakan Keraton Jogja, di Hotel Morazen Kabupaten Kulonprogo, Sabtu (6/12/2025). - Harian Jogja - Khairul Ma'arif
Advertisement
KULONPROGO—Keraton Jogja mengangkat tema resiliensi budaya melalui seminar Jejak Peradaban 2025 yang menghadirkan ratusan peserta dan membahas penguatan budaya di era disrupsi, Sabtu (6/12/2025).
Seminar yang diselenggarakan di Hotel Morazen, Kabupaten Kulonprogo itu dihadiri ratusan peserta dari berbagai kalangan. Seminar dilangsungkan dari pagi hingga sore dengan tiga sesi yang masing-masing sesi pembahasannya berbeda-beda.
Advertisement
Sesi pertama membahas jamu dan jampi: kesehatan holistik modern. Sesi kedua perak dan perkembangan perhiasan modern, dan sesi ketiga seminar membahas budaya visual dan aplikasi kreatif. Sejumlah pembicara menjadi narasumber, dua di antaranya yakni pelaku usaha Subeng Klasik, Valeri Putri Hadiningrat, dan pelaku usaha Salim Perak Kotagede, Priyo Salim.
Seminar dimulai dengan sajian ciamik dari Yogyakarta Royal Orchestra yang membawakan sejumlah lagu. Lantas dilanjutkan dengan pembukaan dan pidato yang disampaikan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara yang merupakan Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan Nitya Budaya. "Berbicara resiliensi budaya, adanya media sosial, kita terpapar dengan mudah akan budaya dari mancanegara. Tetapi musuh kita bukan dari media sosial, kita harus bagaimana caranya secara sadar dan bijak menyiarkan budaya kita di media sosial," ujar GKR Bendara dalam sambutannya membuka seminar Jejak Peradaban, Sabtu (6/12/2025).
BACA JUGA
Seminar Jejak Peradaban di Kulonprogo merupakan kali kedua digelar dengan tema resiliensi budaya di era disrupsi. Pada edisi pertama, seminar Jejak Peradaban mengangkat tema perempuan. GKR Bendara mengatakan, seminar Jejak Peradaban di Kulonprogo ini memiliki tema yang relevan dengan pameran Keraton Jogja yang sekarang masih berlangsung, yakni mengangkat sosok Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) VIII.
"Seminar ini kami menghadirkan produk-produk yang hanya ada di tembok Keraton ini menjadi terbuka di masa kepemimpinan Sri Sultan HB VIII menjadi produk kreatif yang sering kita jumpai sekarang," ucap putri bungsu Sri Sultan HB X itu. Pengemasan budaya di era Sri Sultan HB VIII menjadi sangat dekat dengan masyarakat pada zaman itu sehingga itu dianggap penting dan menjadi tema utama yang diangkat agar Keraton Jogja bisa relevan dengan generasi sekarang. GKR Bendara menyampaikan, seminar ini untuk mempertunjukkan bahwa pelestarian budaya dapat dilakukan melalui pengemasan produk-produk kreatif.
Menurutnya, Keraton Jogja selalu berupaya mengemas budaya menjadi lebih relevan dengan era sekarang. Selain dilakukan dengan konservasi fisik, pengemasan budaya yang diupayakan Keraton Jogja juga mengemas acara dengan gaya informasi yang lebih segar sejak beberapa tahun lalu. "Bahasanya sudah relevan dengan generasi muda. Tim pembuatan konten memang berfokus pada generasi sekarang sehingga diharapkan penyampaiannya lebih relevan. Kami ada beberapa side event kecil selama pameran dan itu pun kami lakukan dengan metode kekinian seperti walking tour," jelasnya. Seminar Jejak Peradaban ini banyak dihadiri oleh para pelaku pariwisata. Pariwisata tidak hanya sekadar jualan destinasi melainkan juga menceritakan dan mengemas budaya menjadi produk pariwisata.
Sementara itu, narasumber seminar, Valeri Putri Hadiningrat, mengatakan bahwa pengemasan budaya yang aktif di media sosial pasti akan lebih mudah dikonsumsi oleh generasi sekarang. Perempuan berusia 25 tahun itu bercerita, dirinya pun mulai mengenal budaya dari media sosial. "Aku dulu juga tahu tentang budaya lewat media sosial saat pandemi, karena sekarang semua anak muda main media sosial sehingga jangan lelah untuk terus kasih tahu ke generasi sekarang bahwa budaya itu penting sebagai pelestarian juga," ungkapnya.
Priyo Salim, pengusaha perak Kotagede yang juga menjadi narasumber seminar, mengungkapkan bahwa masa keemasan perak Kotagede terjadi saat zaman kepemimpinan Sri Sultan HB VIII. Menurutnya, semasa itu para pekerja perak meraup pendapatan sebesar Rp500.000 jika diakumulasikan dengan nilai uang sekarang. Sedangkan dirinya sebagai pengusaha perak selama ini belum mampu menggaji pekerjanya dengan besaran tersebut.
"Artinya, saya harus mengakui bahwa masa keemasan perak Kotagede itu ada di zaman Sri Sultan HB VIII, yaitu era tahun sebelum 1940-an," bebernya. Rangkaian seminar ini tidak hanya diisi dengan berbagai macam materi, melainkan peserta juga akan merasakan desa wisata di Kulonprogo dan menjajal rijsttafel yang merupakan jamuan makan malam kenegaraan pada masa silam.
Melalui rangkaian materi, diskusi, dan pengalaman budaya, seminar Jejak Peradaban di Kulonprogo kembali menegaskan bahwa resiliensi budaya menjadi kunci agar warisan Keraton Jogja mampu beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan akar tradisinya. (Advertorial)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- GPIB Marga Mulya di Jogja Dibuka untuk Wisata Arsitektur Indis
- Cara Bersihkan Koper Usai Liburan agar Bebas Bakteri dan Bau
- Wisata DEB Balkondes Karangrejo Borobudur Ditawarkan ke Eropa
- Desa Wisata Adat Osing Kemiren Banyuwangi Masuk Jaringan Terbaik Dunia
- GIPI Sebut UU Kepariwisataan Baru Sejarah Kelam, Ini Alasannya
Advertisement
Peringatan Hakordia di Malioboro, Trayek Trans Jogja Dialihkan
Advertisement
Lonjakan Masalah Kesehatan Mental Anak Disorot Wakil Menkes
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement



