Advertisement

Gerakan Perempuan Dikuatkan Jelang 1 Abad Kongres Perempuan

Media Digital
Rabu, 17 Desember 2025 - 19:47 WIB
Maya Herawati
Gerakan Perempuan Dikuatkan Jelang 1 Abad Kongres Perempuan Wakil Ketua DPD RI GKR Hemas (tengah), Guru Besar Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Alimatul Qibtiyah (kiri), dan jurnalis Tempo yang juga Ketua Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Shinta Maharani (kanan) saat Diskusi Publik bertema Peran Media dalam Mendorong Gerakan Perempuan di JogjaRefleksi Hari Ibu dan Menuju 1 Abad Kongres Perempuan Indonesia di Kantor DPD DIY, Rabu (17/12 - 2025). / Harian Jogja–Lugas Subarkah

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Menjelang peringatan 1 abad Kongres Perempuan Indonesia pada 2028, penguatan gerakan perempuan kembali didorong sebagai momentum refleksi dan perumusan agenda strategis untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia.

Pada 2028 mendatang, bangsa Indonesia akan memperingati satu abad Kongres Perempuan Indonesia. Momentum ini menjadi ruang refleksi strategis untuk menilai sejauh mana cita-cita kesetaraan dan keadilan gender yang diperjuangkan sejak 1928 telah diwujudkan, sekaligus merumuskan agenda ke depan agar gerakan perempuan tetap relevan.

Advertisement

Dalam upaya tersebut, DPD RI DIY menggelar diskusi publik bertema “Peran Media dalam Mendorong Gerakan Perempuan di Jogja: Refleksi Hari Ibu dan Menuju 1 Abad Kongres Perempuan Indonesia” di Kantor DPD RI DIY, Rabu (17/12/2025). Wakil Ketua DPD RI, GKR Hemas, memberikan keynote speech dalam kegiatan ini.

Ia menjelaskan bahwa menyongsong 1 abad Kongres Perempuan, perlu terus diupayakan politik perempuan, kesejahteraan perempuan, dan keadilan perempuan. “Banyak sekali yang harus kita capai. Dari Jogja, saya harapkan kita semua bisa menghadirkan perjuangan perempuan,” ujarnya.

Ia menyebut, terdapat sejumlah isu strategis yang perlu didiskusikan bersama dalam momentum penguatan gerakan perempuan, antara lain kekerasan dan eksploitasi perempuan di dunia digital, ketimpangan ekonomi dan kerja perempuan, kepemimpinan dan representasi politik perempuan, reformasi hukum, kerusakan ekologis dan persoalan lingkungan, serta reformasi birokrasi yang berperspektif kesetaraan gender.

Ia juga terus mendorong perempuan, khususnya generasi muda, untuk terlibat aktif dalam politik. Saat ini, DPD RI memiliki 55 senator perempuan atau 36,2 persen dari total senator, sedangkan DIY telah memiliki dua senator perempuan atau 50 persen. “Saya terus mendorong agar muncul generasi muda perempuan yang benar-benar bisa mewakili Jogja,” ungkapnya.

Guru Besar Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Alimatul Qibtiyah, menjelaskan bahwa dalam perjalanan sejarahnya, gerakan perempuan Indonesia mengalami pasang surut. Pada masa Orde Baru, ruang gerak perempuan cenderung dibatasi, dengan peran perempuan direduksi pada ranah domestik melalui berbagai kebijakan dan organisasi bentukan negara.

Pasca-Reformasi, perempuan kembali mengambil peran penting dalam memperjuangkan hak-haknya, termasuk dalam mempengaruhi kebijakan publik, penganggaran, serta narasi media yang lebih adil dan setara.

“Nah, kalau kita lihat dalam konteks saat ini, tantangan gerakan perempuan sudah sangat berbeda dengan tahun 1928. Saat ini kita dihadapkan pada persoalan bagaimana teknologi digital tidak hanya memberikan manfaat, tetapi juga dampak negatif terhadap perempuan, termasuk kekerasan berbasis gender online,” katanya.

Menurutnya, perempuan harus menjadi subjek dalam perkembangan teknologi. Perjuangan perempuan saat ini juga perlu terus mendorong agar kebijakan pemerintah benar-benar berpihak pada kepentingan perempuan dan kelompok rentan lainnya.

“Oleh karena itu, sinergi antara akademisi, praktisi, aktivis, dan pemerintah menjadi sangat krusial. Kita tidak bisa berjalan sendiri-sendiri untuk mewujudkan Indonesia yang berkeadilan gender dan inklusif bagi semua,” katanya.

Jurnalis Tempo sekaligus Ketua Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Shinta Maharani, menuturkan bahwa perjuangan gerakan kesetaraan gender tidak bisa dipisahkan dari perjuangan hak asasi manusia dan kebebasan sipil.

“Jadi semestinya negara tidak merepresi berbagai gerakan perempuan, baik yang berdemonstrasi, berdiskusi, maupun memiliki perbedaan pandangan. Negara demokratis yang menghargai hak asasi manusia tidak bersifat otoriter, karena otoritarianisme melahirkan budaya patriarki,” ungkapnya.

Budaya patriarki, lanjutnya, berkaitan dengan tatanan gender yang kaku, tidak menghormati hak asasi manusia, tidak menghargai kesetaraan gender, dan hanya mempertahankan kontrol sosial serta politik. “Jadi, perubahan sosial membutuhkan tindakan politik bersama, baik secara individu maupun kolektif, yang harus dibangun secara berkelanjutan,” ujarnya.

Dengan refleksi menuju 1 abad Kongres Perempuan Indonesia, penguatan gerakan perempuan diharapkan mampu menjawab tantangan zaman dan memperluas perjuangan menuju keadilan gender yang substantif. (Advertorial)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Jadwal Lengkap KRL Jogja-Solo Jumat 19 Desember 2025

Jadwal Lengkap KRL Jogja-Solo Jumat 19 Desember 2025

Jogja
| Jum'at, 19 Desember 2025, 00:57 WIB

Advertisement

Psikolog UGM Sebut Kematangan Emosi Cegah Kekerasan Anak

Psikolog UGM Sebut Kematangan Emosi Cegah Kekerasan Anak

Lifestyle
| Kamis, 18 Desember 2025, 20:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement